cover
Contact Name
Fuad Mustafid
Contact Email
fuad.mustafid@uin-suka.ac.id
Phone
+6281328769779
Journal Mail Official
asy.syirah@uin-suka.ac.id
Editorial Address
-
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum
ISSN : 08548722     EISSN : 24430757     DOI : 10.14421/ajish
Core Subject : Religion, Social,
2nd Floor Room 205 Faculty of Sharia and Law, State Islamic University (UIN) Sunan Kalijaga, Marsda Adisucipto St., Yogyakarta 55281
Arjuna Subject : -
Articles 11 Documents
Search results for , issue "Vol 51, No 2 (2017)" : 11 Documents clear
Praktik Perkawinan Bawah Tangan di DKI Jakarta Mesraini, Mesraini
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 51, No 2 (2017)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/asy-syir'ah.2017.512.251-285

Abstract

Abstract: This research study revealed the practice of unregistered marriage in DKI Jakarta focusing on four aspects: forms, causal factors, impacts, and impressions of the doers of the unregistered marriage. Snowball and purposive sampling techniques of field research was employed, involving 18 (eighteen) respondents. In terms of form, there were at least four forms, namely: approved by the legal guardian and marriage vows met the terms and conditions; conducted without the acknowledgement from the legal guardian and thus appointed a marriage guardian; conducted without the acknowledgement from the legal guardian and also the absence of a guardian; and contract marriage. In terms of causal factor, unregistered marriage occured due to several factors: the prospective husband is still a legal husband of another person; without parent approval; avoidance of public ridicule; unwed pregnancy; religious differences; retain retirement rights; and contract marriage. Meanwhile, in terms of impact, the doers of unregistered marriage experienced different impacts. In terms of impression, this research study revealed that the doers turned out to have regretted this marriage, while some others were fine.Abstrak: Tulisan ini mengungkap praktik perkawinan bawah tangan di DKI Jakarta dengan difokuskan pada bentuk, faktor penyebab, dampak, dan kesan pelaku atas perkawinan bawah tangan. Penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan menggunakan metode teknik sampling snowball dan purposive. Terdapat 18 (delapan belas) responden dari sejumlah wilayah di DKI Jakarta yang menghasilkan sejumlah temuan. Pada aspek bentuk, setidaknya ada empat praktik perkawinan bawah tangan, yakni: direstui oleh wali nasab serta akad nikahnya memenuhi syarat dan rukun nikah; dilangsungkan tanpa sepengetahuan wali nasab sehingga mengangkat wali nikah; tanpa sepengetahuan wali nasab serta tidak ada wali; dan kawin kontrak. Perkawinan bawah tangan terjadi disebabkan oleh beberapa faktor: calon suami masih berstatus sebagai suami sah dari perkawinan orang lain; tidak memperoleh izin dari orang tua; menghindari cemoohan masyarakat; hamil di luar nikah; perbedaan agama; agar tetap mendapat hak pensiun; dan nikah kontrak. Para pelaku mengalami dampak yang berbeda. Kesan pelaku ternyata ada yang menyesali dan ada yang biasa saja. 
Reformasi Batas Minimal Usia Perkawinan dan Relevansinya dengan Hak-Hak Anak di Indonesia Perspektif Maqashid Asy-Syari’ah Wagianto, Ramdan
. Vol 51, No 2 (2017)
Publisher : State Islamic Universiity (UIN) Sunan Kalijaga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/asy-syir'ah.2017.%x

Abstract

This paper discusses about the reforms conducted by some government agencies about the minimum age of marriage. BKKBN with PUP Program (Maturation of Marriage Age) and Local Regulation of Gunungkidul Regency Yogyakarta on Prevention of Marriage at Child Age (PPUA). PUP with the standard of marriage age 20 years for women and 25 years for men, and 18 years for women in PPUA. The age limit is an effort to 'reform' from the limits regulated by UUP No. 1/1974 (16 years for women and 19 years for men). By using the maqashid asy-syari’ah approach, it is known that minimal marriage reform efforts have relevance to the rights of children, such as the right to get a quality education (hifz al-'aql), the right to get justice (hifz al-'ird- human rights), and the right of reproductive health (hifz an-nasl)Tulisan ini membahas tentang reformasi batas usia perkawinan yang dilakukan oleh beberapa lembaga pemerintahan, yakni BKKBN dengan program PUP (Pendewasaan Usia Perkawinan) dan Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak (PPUA). PUP menetapkan standar usia perkawinan 20 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Sementara PPUA menetapkan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan adalah 18 tahun. Pendewasaan usia perkawinan yang ditetapkan oleh BKKBN dan PPUA tersebut adalah sebagai upaya ‘reformasi’ dari batasan yang diatur oleh UUP No. 1 tahun 1974 (16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki). Dengan menggunakan pendekatan maqashid asy-syari’ah dapat diketahui bahwa upaya reformasi batas minimal usia mempunyai relevansi dengan hak-hak anak, di antaranya adalah hak mendapatkan pendidikan berkualitas (hifz al-‘aql), hak mendapat keadilan (hifz al-‘ird-human right), dan hak kesehatan reproduksi (hifz an-nasl).
Hak Harta Bersama bagi Istri yang Bekerja Perspektif Maqashid asy-Syari’ah Zikri Darussamin; Armansyah Armansyah
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 51, No 2 (2017)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.2017.51.2.345-365

Abstract

Abstract: Indonesia's positive law has determined that half of the joint  property will be the right of the wife, and the other half will be the husband’s right in the event of a divorce between them. This rule of law is based on the responsibility in earning a living which is the obligation of the husband, while the wife’s job is to take care of the household. However, the division of responsibilities, as contained in positive law, has undergone shifts and changes. In the present time, some wives not only acts as a housewife, but also work to earn a living or even become the family's backbone. As a result, the old rules are no longer perceived as a backdrop to the achievement of justice. Through a comparative approach, this paper seeks to find the perspective of Islamic law in assessing the issue of common property rights for working wives, by collecting the arguments and analyzing them in a unified whole through the point of maqashid asy-syari’ah’s view. Through this approach, a legal construction is made, that Islam recognizes the property the wife acquires during her work, as her private property and excludes joint property, on the basis of the concept of hifzh al-mal. This provision is different from the construction of a positive law that merges the wife's property into the common property.Abstrak: Hukum positif Indonesia menetapkan separuh harta bersama menjadi hak istri dan separuh lainnya menjadi hak suami apabila terjadi perceraian. Ketentuan ini didasarkan pada tanggung jawab untuk mencari nafkah merupakan kewajiban suami, sementara pekerjaan istri adalah mengurus rumah tangga. Akan tetapi, pembagian tanggung jawab sebagaimana dimuat dalam hukum positif telah mengalami pergeseran. Dewasa ini, sebagian istri tidak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, tetapi turut serta bekerja mencari nafkah atau bahkan tidak jarang menjadi tulang punggung keluarga. Oleh karena itu, norma hukum tertulis tersebut dirasa tidak lagi dapat dijadikan sandaran dalam pencapaian keadilan. Melalui pendekatan komparatif, tulisan ini berusaha menemukan perspektif hukum Islam dalam memandang persoalan hak harta bersama bagi istri yang bekerja dengan cara menghimpun dalil-dalil serta menganalisisnya dalam satu kesatuan yang utuh melalui sudut pandang maqashid al-syari’ah. Melalui pendekatan ini diperoleh suatu konstruksi hukum bahwa Islam mengakui harta yang diperoleh istri selama bekerja sebagai hak milik pribadi dan tidak termasuk harta bersama atas dasar konsep hifzh al-mal, berbeda dengan konstruksi hukum positif yang melebur harta pencarian istri ke dalam harta bersama.
Arbitrase Ex Aequo Et Bono dan Hukum Islam Syamsul Anwar
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 51, No 2 (2017)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.2017.51.2.367-397

Abstract

Abstract: This article deals with a form of alternative disputes resolution known as arbitration ex aequo et bono in its relation to Islamic law. Using an us}u>li> approach, the writer brings into the fore the question whether Islamic law recognizes this legal doctrine and analyzes it in the light of Quranic verses, Prophetic traditions, Islamic legal maxims, and the opinions of Muslim classical as well as contemporary scholars. The data of the study comprise primary, secondary, and tertiary Islamic legal materials collected from the sources such as the Quran, and relevant books on Quranic exegesis, hadith lirature, fiqh and al-qawa>ʻid al-fiqhiyyah treatises. The writer come to a general conclusion that, while arbitration ex aequo et bono becomes an increasingly accepted legal doctrine in modern times, Muslim jurists see that there hardly any room for cancelling the sharia in arbitration process in favor of ex aequo et bono principle.Abstrak: Tulisan ini mengkaji salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang dikenal dengan istilah arbitrase ex aequo et bono dalam kaitan dengan hukum Islam dengan fokus pada persoalan apakah hukum arbitrase syariah mengakui doktrin ex aequo et bono? Pendekatan yang digunakan adalah usul fikih dengan sumber kajian meliputi Al-Qur’an, kitab-kitab hadis, kitab-kitab tafsir, kitab hadis dan fikih serta sejumlah pustaka lainnya yang terkait. Penulis menyimpulkan bahwa, meskipun tah}ki>m ex aequo et bono telah semakin banyak diterima dalam hukum modern, para ahli hukum Islam melihat bahwa kecil peluang dimungkinkannya mengabaikan hukum Islam dalam pemberian keputusan hukum melalui arbitrase.
Reformasi Batas Minimal Usia Perkawinan dan Relevansinya dengan Hak-Hak Anak di Indonesia Perspektif Maqashid Asy-Syari'ah Ramdan Wagianto
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 51, No 2 (2017)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.2017.51.2.287-306

Abstract

usia merupakan aspek urgen dalam perkawinan. pengaruh usia perkawinan sangat besar pengaruhnya bagi lini kehidupan seseorang. Indonesia telah mengatur usia perkwinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Aturan tersebut dinilai telah melanggar hak-hak anak, khususnya bagi anak perempuan, seperti hak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas, hak untuk mendapat keadilan, dan hak untuk mendapatkan kesehatan reproduksi. Sehingga perlu dilakukan reformasi terhadap aturan yang telah ada. Reformasi usia perkawinan ini mengambil titik relevansi dengan maqasid asy-syari’ah: hifz al-‘aql, hifz al-‘ird, dan hifz al-nasl.Age is an urgent aspect in marriage the influence of marriage age is very big influence for one's life line. Indonesia has set the age of 16 years for women and 19 for men. Such rules have violated the rights of children, especially for girls, such as the right to a quality education, the right to justice, and the right to health. Need to reform the existing regulations. This marriage age reform takes a point of relevance to maqasid ash-syari'ah: hifz al-'aql, hifz al-'ird, and hifz al-nasl
Praktik Perceraian Sepihak pada Masyarakat Sasak di Pulau Lombok Zulfatun Ni'mah
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 51, No 2 (2017)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.2017.51.2.307-344

Abstract

Abstract: Unilateral divorce practice can be cathegorized as general phenomenon in Sasak society, Lombok. It was occurred at many forms and ways; some husbands who divorce their wives unilaterally state the divorce statement directly to their wives by face to face, some of them state divorce in front of other people, some of them state it from far place with telecommunication ware, and some of them state it in front of local authority holder in divorce affair, they are religious leader and hamlet head. Unilateral divorce practice still existed in Lombok due to several factors, firstly, uncompleteness of divorce regulation, malpractice in marriage and divorce administration, and influence of extremely textual and patriarchal Islamic law understanding. In general, unilateral divorce negativelly affected to wives who divorced unilaterally. They lost their right to get mut’ah, expense of iddah, dowry settlement and also sharing of marital property.Abstrak: Perceraian sepihak merupakan fenomena yang boleh dibilang masih umum terjadi pada masyarakat Sasak, Lombok. Perceraian sepihak tersebut terjadi dengan berbagai macam bentuk atau cara, yakni suami menyatakan talak secara langsung kepada istri dengan bertatap muka, atau suami menyatakan talak di hadapan orang lain, bahkan adakalanya suami menyatakan talak lewat alat komunikasi, dan terkadang suami menyatakan talak di hadapan kepala dusun dan kiai yang dianggap sebagai pemilik otoritas dalam soal perceraian. Masih eksisnya perceraian sepihak di kalangan masyarakat Sasak ini disebabkan oleh beberapoa faktor, yakni belum lengkapnya peraturan tentang talak, terjadinya malpraktik administrasi pernikahan dan perceraian, dan pengaruh pemahaman ajaran agama yang bersifat tekstualis dan patriarkhis. Praktik perceraian sepihak ini pada akhirnya berdampak negatif terhadap para istri yang diceraikan. Mereka kehilangan sejumlah hak yang seharusnya didapatkan, seperti hak istri untuk berpartisipasi dalam menentukan arah kehidupan rumah tangga, hak istri untuk mendapatkan mut’ah dan nafkah iddah, hak untuk mendapatkan pelunasan maskawin, dan juga hak untuk mendapatkan bagian atas harta bersama.
Dilema Penerapan Emas (Dinar) sebagai Mata Uang Internasional: Study atas Politik Moneter Dunia Asyari Hasan
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 51, No 2 (2017)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.2017.51.2.399-420

Abstract

Abstract: This paper examines and describes the problems and constraints of applying gold (dinar) to be part of the international monetary system. Although the support of various parties was so strong in the late 90's but until now the development was still slow. Islamic scholars agree that the international monetary system and fiat money are unfair so that a new and fair and usury-free system. Strong countries with a fiat money system, especially the holders of the world's key currencies, will suffer huge economic and political losses if the system is replaced by a new system. Economically they will lose profits from the seignoirage proccess and interest income, politically will lose domination and hegemony against other countries. Therefore they do not support the idea of applying gold. This is supported by other countries that are economically and politically dependent on developed countries. Economic politics is used as an approach in this paper to find a comprehensive formula about the problems being.Abstrak: Tulisan ini mengkaji dan mendeskripsikan masalah dan kendala penerapan emas (dinar) menjadi bagian dari sistem moneter internasional. Meskipun dukungan berbagai pihak begitu kencang akhir tahun 1990-an, sampai saat ini perkembangannya masih lamban. Para sarjana Islam sepakat bahwa sistem moneter internasional dan fiat money adalah tidak adil sehingga perlu dibangun sistem baru yang adil dan bebas riba. Negara-negara yang kokoh dengan sistem fiat money terutama pemegang mata uang kunci dunia akan rugi besar secara ekonomi dan politik jika sistem tersebut diganti dengan sistem baru. Secara ekonomi mereka akan kehilangan keuntungan dari proses seignorage dan pendapatan bunga, secara politis mereka akan kehilangan dominasi dan hegemoni terhadap negara lain. Karenanya mereka tidak mendukung gagasan penerapan emas. Hal ini didukung negara-negara lain yang memiliki ketergantungan secara ekonomi dan politik pada negara-negara maju. Politik ekonomi dijadikan sebagai pendekatan dalam tulisan ini untuk menemukan formula yang komprehenshif tentang permasalahan yang dikaji.
Pertanggungjawaban Pemilik dan Pengguna atas Kerusakan yang Diakibatkan oleh Hewan Peliharaan: Studi Perbandingan Hukum Indonesia dan Jerman Gratianus Prikasetya Putra
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 51, No 2 (2017)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.2017.51.2.497-512

Abstract

Abstract: There are 2 (two) forms of liabilities which acknowledged by Civil Law, the first one is contractual based liability and the second one is tort based liability. If there is a liabilty based on an event which fulfill the elements as known in tort theory, so the tort based liability will be used. Today, there are some variations and developments in cases that intersect with the theory and regulation regarding tort. One of which related to that theory and regulation was the tort that has been done by an animal in Germany. According to that case it can be seen the possibilitiy of tort based liability that owned by an animal. This article will explain the comparation of the theory of tort based on Indonesian Law System and German Law System which influenced by Civil Law Legal System. The juridical-normative legal research method will be used to explain the comparation theory of tort and its liability based on those two legal systems which use the secondary data such as regulations and the literatures regarding the tort theory. Abstrak: Hukum perdata mengenal adanya 2 (dua) macam pertanggungjawaban, pertama pertanggungjawaban kontraktual dan yang kedua pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum (PMH). Apabila sebuah pertanggungjawaban didasarkan atas sebuah peristiwa yang memenuhi unsur-unsur yang dikenal dalam teori PMH, maka pertanggungjawaban yang digunakan ialah pertanggungjawaban PMH. Dewasa ini terdapat perkembangan dan variasi dari kasus-kasus yang kerap bersinggungan dengan regulasi dan teori di dalam PMH. Salah satu variasi kasus yang berkaitan dengan hal tersebut ialah PMH yang dilakukan oleh seekor hewan, yang sempat terjadi di Jerman. Sehubungan dengan kasus tersebut dapat dilihat terkait kemungkinan seekor hewan dimintakan pertanggungjawaban atas PMH. Artikel ini akan menjelaskan perbandingan teori PMH berdasarkan hukum Indonesia dan hukum Jerman yang sama-sama dipengaruhi oleh sistem hukum civil law. Metode penelitian hukum yuridis normatif akan digunakan guna membahas komparasi teori PMH dan pertanggungjawabannya berdasarkan sistem hukum perdata di Indonesia maupun di Jerman yang akan menggunakan data sekunder berupa bahan-bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dan literatur-literatur mengenai teori PMH.
Mitologi Arabisasi Peraturan Bupati (Perbup) Syari’ah di Tasikmalaya dan Implikasinya dalam Sistem Hukum Nasional Syihabuddin Qalyubi; Nurul Hak; Khabibi Muhammad Luthfi
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 51, No 2 (2017)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.2017.51.2.443-471

Abstract

Abstract: The purpose of this paper is to analyze the reason, form and meaning of arabization regent regulation (perbup) in Tasikmalaya and its implications for the national legal system. This departs from the arabization of Tasikmalaya regency that tends to be unilateral and less concerned about Sundanese writing. Using the approach of political linguistics and the theory of Mythology from Roland Barthes, it shows that Perbup arabization in Tasikmalaya district was underlied by history and sociological majority of Santri with Islam ideology since 19th centuries until now. In addition, the emergence of Arabization is legally inspired by the vision and mission of Tasikmalaya Regency itself as it wants to become an Islamic religious district. The implementation of Perbup arabization uses Pegon Arabic-Sundanese with three forms called the name of the Regional Work Unit, the official manuscript and the monument. Connotatively or mythologically, the Arabization shows that the regent of Tasikmalaya seeks to spread the ideology of Islamic Nusantara or Islamic Santri to Tasikmalaya society specifically and Indonesian people in general. While the implication to the national legal system is the incoherence of the legal system components in Indonesia. Abstrak: Tujuan tulisan ini adalah menganalisis alasan, bentuk dan makna dari arabisasi dalam Peraturan Bupati di kabupaten Tasikmalaya dan implikasinya dalam hukum nasional. Ini berangkat dari adanya arabisasi pada Peraturan Bupati Kabupaten Tasikmalaya yang cenderung sepihak dan kurang peduli tulisan Sunda. Dengan pendekatan politik linguistik dan teori mitologi Roland Barthes, ditemukan bahwa arabisasi dalam Peraturan Bupati di kabupaten Tasikmalaya dilatarbelakangi oleh sejarah dan sosiologis mayoritas kaum santri yang berideologi Islam Nusantara sejak abad ke-19 hingga sekarang. Selain itu munculnya arabisasi ini secara hukum diilhami oleh visi dan misi Kabupaten Tasikmalaya itu sendiri yang ingin menjadi kabupaten religius islami. Adapun implementasi arabisasi Peraturan Bupati tersebut menggunakan Pegon Arab Sunda dengan tiga bentuk yaitu nama satuan kerja perangkat daerah, naskah dinas dan monumen. Secara konotatif atau mitologis arabisasi itu menunjukkan bahwa bupati Tasikmalaya berusaha menyebarkan ideologi Islam Nusantara atau Islam Santri kepada masyarakat Tasikmalaya itu sendiri secara khusus dan masyarakat Indonesia secara umum. Sementara implikasinya terhadap hukum nasional adalah adanya ketidakpaduan antara komponen sistem hukum di Indonesia.
Perlindungan Pemerintah Indonesia terhadap Stateless Person Imigran Rohingya di Aceh Lindra Darnela; Mohammad Ady Nugroho
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 51, No 2 (2017)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.2017.51.2.473-495

Abstract

Abstract: According to Universal Declaration of Human Rights 1948, each individual has the same right to obtain citizenship status. However, there are still individuals who do not have citizenship status called stateless persons. Rohingya is an ethnic who does not obtain the recognition of citizenship by Myanmar. Such circumstances caused the Rohingyas to be displaced from their homes and save themselves to share the country, including Indonesia. This study examines the Indonesian government's position in protecting Rohingnya refugees in Aceh based on the perspective of international law. In this regard, the Indonesian government has an obligation to provide protection against them under the provisions of international law, both international treaties and international customary law. In addition, it appears that the Government of Indonesia in this case has not been able to meet the standards of service and protection in facilitating Rohingya immigrants under international law.Abstrak: Menurut Universal Declaration of Human Right 1948, setiap individu memiliki hak yang sama untuk mendapatkan status kewarganegaraan. Namun demikian, masih terdapat individu yang tidak memiliki status kewarganegaraan yang disebut stateless persons. Rohingya merupakan etnis yang tidak mendapatkan pengakuan kewarganegaraannya oleh Myanmar, negara tempat etnis tersebut tinggal. Kondisi demikian menyebabkan etnis Rohingya terusir dari tempat tinggalnya dan menyelamatkan diri ke berbagi negara, termasuk Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia memiliki kewajiban dalam memberikan perlindungan terhadap mereka berdasarkan ketentuan hukum internasional, baik perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional. Penelitian ini mengkaji sikap pemerintah Indonesia dalam melindungi para pengungsi Rohingnya di Aceh dalam perspektif hukum internasional. Menggunakan pendekatan yuridis-normatif, penelitian ini menemukan bahwa meskipun pemerintah memutuskan untuk melakukan upaya perlindungan, tetapi dalam beberapa Pemerintah Indonesia belum mampu memenuhi standar pelayanan dan perlindungan dalam memfasilitasi imigran Rohingya yang sesuai dengan hukum internasional.

Page 1 of 2 | Total Record : 11